Opini: Tanggapan Mengenai Ranperda Cap Tikus di Sulawesi Utara

9 September 2022, 15:00 WIB
Ilustrasi Miras. tanggapan soal Ranperda Cap tikus di Sulawesi Utara. /Pixabay/652234/

PORTAL MINAHASA - Ada dua hal yang mendasari catatan ini dibuat;

  1. kebutuhan untuk memperlihatkan review buku berjudul Budaya Minum di Indonesia, yang diterbitkan tahun 2022 ini oleh Yayasan Obor Indonesia dan dieditori Raymond Michael Menot, peneliti Antropologi di FISIP UI, dan karena isi dalam buku ini;
  2. Sebagai respons terhadap berita beberapa hari terakhir mengenai tuntutan pengesahan Ranperda Cap Tikus dan posisi Ranperda inisiatif tersebut yang berada dalam proses pembuatan naskah akademis di DPRD Sulut.

Sehingga, jika memanfaatkan buku ini, maka setidak-tidaknya sudah ada bahan akademis terpercaya sebagai dasar pembuatan Ranperda dimaksud.

Buku ini berbentuk bunga rampai yang terdiri dari 13 artikel, di dalamnya telah termasuk prolog dan epilog yang ditulis sendiri oleh editornya, termasuk 11 artikel utama.

Buku ini diberi pengantar oleh Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid dan terdiri dari 458 halaman utama serta tambahan 12 halaman pembuka.

Artikel-artikelnya ditulis oleh 15 kontributor dari berbagai daerah. Ada yang mengambil kasus di daerah spesifik, seperti Bali, Sulut, Jawa Timur, NTT, Jatim, Sultra, Kalteng dan Papua.

Namun ada pula yang mengambil kasus dengan lokus lebih besar menyangkut wilayah Indonesia ataupun kajian kuantitatif dengan melihat beberapa daerah secara sekaligus terutama perkotaan yang tersebar di beberapa provinsi.

Secara khusus untuk artikel utama pertama mengenai kajian epigrafi konsumsi alkohol mengambil lokus besar di Indonesia, tetapi nampaknya memang memiliki data yang cenderung berada di pulau Jawa dan kemudian Sumatera.

Begitu pula halnya artikel ke-10 mengenai social drinker dan ke-11 mengenai hubungan alkohol dan kejahatan yang mengambil fokus di beberapa kota di Indonesia.

Jika kita membentuk suatu garis imajiner yang ditarik dari ujung utara selat Makassar hingga ujung selatan selat Bali sehingga membagi Indonesia menjadi bagian barat dan timur.

Maka dari 11 artikel utama dapat diketahui bahwa ada 4 artikel yang mengambil lokus di provinsi bagian barat, 5 di timur Indonesia serta 2 artikel memberi perhatian pada Indonesia secara keseluruhan atau mengambil lokasi di bagian-bagian terpisah baik barat maupun timur.

Secara mendasar Budaya minum di Indonesia dapat dilihat sebagai salah satu buku eksploratif dan pioneer mengenai, terutama, konsumsi alkohol tradisional di Indonesia dalam suatu garis periode yang panjangnya ribuan tahun.

Sebagai suatu kajian sosial-budaya contohnya, setidaknya dapat dilihat bahwa ada banyak persamaan di berbagai daerah yang menempatkan minuman alkohol tradisional dengan sangat penting tidak hanya sebagai suatu identitas komunitas, tetapi pula dalam fungsi ritual, simbolis, bahkan ekonomi. Dari aspek kriminologi, beberapa artikel dalam buku ini justru dapat membantuh hubungan langsung antara kejahatan dan konsumsi alkohol.

Sementara dari aspek hukum atau tepatnya regulasi, kita dapat melihat bahwa Perda minuman beralkohol secara aktual sangat dimungkinkan diterapkan karena seperti itulah yang telah terjadi di Bali, NTT, Sumut dan beberapa daerah lainnya.

Tetapi, jika mencermati buku ini dan DPRD Sulut akhirnya berhasil menetapkan Ranperda Cap Tikus sebagai Perda, maka provinsi ini akan menjadi daerah pertama yang membuat minuman beralkohol tradisional sebagai ‘terma resmi’ di dalam regulasi dimaksud, tentu saja lepas dari apapun isi Perda tersebut.

Dari sudut pandang akademis sendiri, buku ini dapat dilihat sebagai suatu ‘pancingan’ agar lebih banyak dan dalam lagi diadakan studi-studi mengenai alkohol tradisional di Indonesia.

Impresi ini bukan dilakukan semata-mata sebagai ‘penghormatan terhadap budaya lokal’, tetapi karena kita dapat menangkap jauh lebih banyak aspek dari produksi, distribusi dan konsumsi alkohol tradisional. Kesehatan, kriminologi, ekonomi, kimia, sejarah, arkeologi, ekologi, hukum dan banyak aspek lain dapat dieksplorasi lebih lanjut dengan masuk melalui fenomena minuman beralkohol di Indonesia.

Bahkan mengkaji aspek yang mungkin paling sensitif di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu integrasi dan dis-integrasi bangsa.

Sehingga, jika kita mengandaikan alkohol tradisional sebagai spektrum warna, maka proyeksi kajiannya akan jauh lebih luas dan dalam dibandingkan masalah hitam putih semata seperti; dilarang atau tidak, halal atau haram, menguntungkan atau merugikan.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan buku Budaya Minum di Indonesia layak dibaca dan diambil manfaat serta inspirasi oleh para peminat isu ini.

Pada sisi aktual, kajian dalam buku ini sangat bernilai untuk dijadikan bahan sandaran sebagai ‘naskah akademis’ yang telah ada dan dapat digunakan lebih jauh serta maksimal dalam usaha menetapkan cap tikus sehingga dapat menjadi Perda dalam waktu yang tidak jauh dari sekarang ini.***

 

Penulis: Nono S. A. Sumampouw, Peneliti Independen.

Editor: Mulyadi Pontororing

Tags

Terkini

Terpopuler