Tren Ancaman Jurnalis Sudah Berkembang ke Serangan Digital, AJI Dorong Penguatan Regulasi

18 Mei 2022, 18:08 WIB
Ilustrasi aktivitas jurnalistik. /Pixabay/ErikaWittlieb/

PORTAL MINAHASA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendorong terciptanya regulasi terkait serangan digital kepada jurnalis di era digital.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengatakan regulasi ini penting sebab ancaman terhadap jurnalis sudah berkembang menjadi serangan digital.

Hal itu, dikatakan Sasmito Madrim dalam diskusi kebebasan pers di era digital yang diselenggarakan Kedubes AS secara virtual, Rabu 18 mei 2022.

“Karena serangan itu jauh lebih mudah melalui serangan digital, tren nya berubah di serangan digital. Kemudian, lebih mudah dikriminalisasi karena adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” ujar Sasmito Madrim.

Baca Juga: Siapkan Servis Spesial untuk Penggemar, Tiket Gala Dinner Miyabi di Jakarta Dibanderol Rp15 Juta

Dia mengatakan, serangan digital juga memberi dampak lain berupa kerugian ekonomi yang besar bagi perusahaan media maupun jurnalisnya.

"Serangan digital ini dampaknya sangat luar biasa bagi jurnalis dan perusahaan medianya. Ketika aset digitalnya perusahaan media siber diambil alih kemudian konten-nya dihapus itu bisa dibayangkan kerugiannya berapa miliar atau ratusan juta ketika konten-nya dihapus, sehingga itu pentingnya ada back up data," tutur Sasmito.

Selain itu, serangan digital juga menimbulkan trauma yang tidak hanya dialami oleh korban, tetapi juga keluarga korban.

Jenis serangan yang dialami jurnalis dan media yaitu doxing (tindakan mempublikasikan informasi pribadi atau identitas tentang individu atau organisasi di internet), peretasan dan penolakan layanan secara distribusi (distribused denial-of-service/DDos).

Baca Juga: Tesla Dipastikan Berinvestasi di Indonesia, Menteri Bahlil Lahadalia: Inya Allah 2022 Ini

"Namun, era digital juga memberikan manfaat seperti memudahkan kerja jurnalis, mampu menyusup ke dalam batasan pemerintah, dan lebih mudah berkolaborasi," ujar Sasmito.

AJI, lanjutnya, juga akan melakukan penguatan pemahaman aparat penegak hukum mengenai serangan digital terhadap jurnalis.

"Kemudian, memperkuat keamanan jurnalis dan membangun kerja sama dengan laboratorium digital. AJI belum ada SDM yang paham mengenai digital forensik, padahal digital forensik itu dibutuhkan untuk menemukan siapa pelaku dari serangan digital," kata dia.

Dalam jurnalisme di era digital, lanjut dia, AJI mendorong regulasi terkait serangan digital kepada jurnalis. "Karena serangan digital tidak masuk dalam regulasi," ucap dia.

Baca Juga: Miyabi Berencana Temui Penggemar di Jakarta, Gubernur Anies Baswedan Diminta Menolak

Dikutip dari Antara, menurut data AJI, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2021 mencapai 43 kasus.

Jenis kekerasan paling banyak berupa teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7 kasus) dan pelarangan liputan (7 kasus).

AJI juga mencatat masih terjadi serangan digital sebanyak 5 kasus, ancaman 5 kasus dan penuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata, 4 kasus.

Dari sisi pelaku kekerasan, polisi menempati urutan pertama dengan 12 kasus, kemudian orang tidak dikenal 10 kasus, aparat pemerintah 8 kasus, warga 4 kasus dan pekerja profesional 3 kasus.

Baca Juga: Korea Utara Kewalahan Tangani Gelombang Covid-19, Sejumlah Negara Tawarkan Bantuan

Sementara itu, perusahaan, TNI, jaksa dan organisasi kemasyarakatan masing-masing 1 kasus.***

Editor: Mulyadi Pontororing

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler