PORTAL MINAHASA - Pramoedya Ananta Toer tercatat dalam sejarah sastra Indonesia sebagai seorang sastrawan besar yang melahirkan karya-karya berpengaruh.
Dalam antologi autobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora, Pram--panggilannya--menulis bahwa nama lengkapnya adalah Pramoedya Ananta Mastoer.
Sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Keluarga Gerilya (1950), The Fugitive (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Cerita-Cerita Pendek Revolusi (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Cerita dari Blora (1952), dan Gulat di Jakarta (1954).
Baca Juga: Dokumen Gilchrist, Bukti Keterlibatan Blok Barat Dalam G30S PKI?
Namun, seperti kisah manusia yang pada umumnya kaya warna, jalan hidup Pramoedya Ananta Toer pun penuh lika-liku. Konon, meski dengan sekian banyak karya di atas, Pram pernah sekian hari tak makan saking susahnya.
Kesulitan ekonomi yang Pramoedya Ananta Toer alami itu dikisahkan oleh Ajip Rosidi dalam sejumlah esai, di antaranya: Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen--tercantum dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain yang terbit pada 2010, dan Perubahan Sikap Pramoedya Ananta Toer lewat buku Lekra Bagian dari PKI (2015).
Baca Juga: Nasib Anak Keturunan Pelaku G30S PKI, di Antaranya, Anak dan Keponakan DN Aidit
Alkisah, pada sekitar tahun 1954, Pram pergi dari rumah mertua karena bertengkar dengan istrinya.
Pram kemudian menetap sementara di rumah kontrakan yang disebut adiknya, Koesalah Soebagyo Toer, sebagai "suatu gang becek tanpa nama di daerah Rawasari, di belakang Jalan Rawamangun."
Artikel Rekomendasi