PORTAL MINAHASA - Lima tahun setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Meskipun pendiriannya disebut berlatar niat memberi hiburan bagi rakyat yang baru lepas dari penjajahan, kian hari kian kentara bahwa perkembangan Lekra sangat berkiblat pada paham komunis PKI.
Sebagai lembaga budaya, Lekra tidak menunjukkan penghormatan yang sama pada seniman dan budayawan non Lekra.
Baca Juga: Taman Makam Pahlawan Kalibata, Tempat Peristirahatan Terakhir 7 Pahlawan Revolusi
Sutan Takdir Alisjahbana dan Hamka adalah dua nama besar yang kerap menjadi sasaran kritik dan olok-olok seniman Lekra.
Sastrawan lain yang tercatat sejarah bermasalah dengan Lekra adalah pujangga Taufiq Ismail dan HB Jassin.
Tidak nyaman dengan perkembangan tersebut, sastrawan dan sutradara Asrul Sani berinisiatif mendirikan lembaga budaya tandingan dari Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia).
Baca Juga: Misteri Keberadaan Kuburan Tan Malaka, Pimpinan PKI yang Juga Pahlawan Nasional
Pendirian Lesbumi pada tahun 1954 dikerjakan Asrul Sani bersama H. Djamaluddin Malik, ayah aktris Camelia Malik, dan Usmar Ismail, seorang wartawan, sekaligus sutradara dan produser film yang juga sastrawan.
Artikel Rekomendasi